Story
Hari Minggu ketiga di bulan Juni dirayakan sebagai hari Ayah sedunia atau yang biasa dikenal dengan Fathers Day. Pelayanan Compassion seringkali mempertemukan dua kisah ayah yang ekstrim. Dan dari sana seolah-olah terlihat bahwa kemiskinan dapat membawa keluar hal yang terbaik dan terburuk.
Dalam semua kasus, Compassion mencoba memenuhi kebutuhan anak-anak sekaligus memberdayakan orangtua untuk meyediakan dan memberikan perawatan terbaik bagi anak-anak mereka.
Salah seorang ayah yang berani dan setia yang bekerja bersama Compassion adalah John Bosco Kazibwe dari Uganda. Ia menjadi pengasuh tunggal bagi putri kecilnya, Gloria Namirembe, semenjak istrinya pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun.
“Saya sangat bingung. Mengapa ia meninggalkan seorang anak yang masih menyusui? Bagaimana saya harus mengatasinya? Saya hanya ingin melakukan yang terbaik untuk membesarkan Gloria dengan tangan saya sendiri, tapi saya tidak memiliki uang untuk membeli susu atau untuk mendapatkan bantuan medis. Gloria diserang demam malaria karena kami biasanya tidur tanpa kelambu. Saya sangat kuatir anak ini akan segera meninggal.”
Kemudian John dan Gloria ditemukan oleh pekerja Compassion yang mencari keluarga-keluarga untuk bergabung dengan program mereka, “Child Survival”. John menjadi satu-satunya pria di antara 57 ibu dalam program ini namun ia tidak mundur. Selain menerima bantuan praktis dalam hal makanan, tempat tidur, mainan dan obat-obatan, ia juga mendapatkan keuntungan dari beragam saran yang memungkinkannya untuk memulai peternakan babi kecil.
Ia juga mengembangkan diri sebagai teladan spiritual Gloria, memimpin ibadah di dalam pertemuan dan berdoa dengan Gloria setiap malam sebelum tidur. Ia benar-benar setia menjalankan peranannya sebagai seorang ayah. “Saya ingin mendorong para ayah untuk turut serta membesarkan anak, bukan hanya menyerahkannya kepada ibu. Anak adalah milik kedua orangtua dan kedua orangtua harus berbagi tanggung jawab membesarkan anak-anak.”
Akan tetapi banyak juga anak-anak yang dibantu Compassion tidak memiliki ayah seperti John. Seperti Rugarama Ziade. Ayahnya meninggalkan ibunya ketika ia masih di dalam kandungan. Tak lama kemudian, ibunya meninggal dalam peristiwa pembantaian Rwanda tahun 1994 meninggalkan Ziade seorang diri. Dan akhirnya, pada usia 10 tahun, Ziade bertemu ayahnya untuk pertama kalinya.
“Ayah membelikan saya pakaian sekali. Dia kemudian meninggal karena penyakit HIV dan meninggalkan seorang istri yang sakit serta dua orang anak, usia 10 dan 7 tahun. Mereka adalah keluarga saya hari ini.”
Ketika Compassion bekerja di Rwanda, Ziade terdaftar di dalam proyek dan memulai proses pengembangan diri yang panjang. Dan proses ini mencapai puncaknya ketika ia dipilih untuk masuk dalam Program Pengembangan Kepemimpinan yang bertujuan mencetak lulusan sekolah yang unggul secara rohani dan akademis. Saat ini, Ziade berada di tahun ketiga Sekolah Manajemen Dan Keuangan untuk meraih gelar Akuntansi.
Meskipun Ziade mendapatkan contoh buruk dari ayah yang dikenalnya, namun ia ingin mematahkan siklus itu. Ia menggunakan uang saku yang diperolehnya untuk membayar biaya sekolah adik-adik tirinya dan membantu ibu tirinya untuk membayar uang sewa.
“Keluarga saya adalah adik-adik yang ditinggalkan ayah saya. Dalam program ini kami belajar tentang menghargai keluarga. Saya sangat mencintai mereka. Saya akan mencintai mereka, memenuhi kebutuhan mereka dan merawat mereka seperti adik-adik saya sendiri. Seperti Kristus yang telah memilih saya dari banyak anak lainnya, saya ingin mempertontonkan kasih ini kepada orang lain,” ujar Ziade.
Sama seperti John dan Ziade, setiap kita harus menyadari bahwa di balik setiap kepahitan hidup, ada rencana Tuhan yang indah yang telah disediakannya bagi kita ketika kita memilih untuk sungguh-sungguh mengasihi Dia.
Source : christiantoday
Fathers Day Ala Compasion, Penuh Kisah Haru Akan Arti Kasih
10:00 AM
No Comments
Hari Minggu ketiga di bulan Juni dirayakan sebagai hari Ayah sedunia atau yang biasa dikenal dengan Fathers Day. Pelayanan Compassion seringkali mempertemukan dua kisah ayah yang ekstrim. Dan dari sana seolah-olah terlihat bahwa kemiskinan dapat membawa keluar hal yang terbaik dan terburuk.
Dalam semua kasus, Compassion mencoba memenuhi kebutuhan anak-anak sekaligus memberdayakan orangtua untuk meyediakan dan memberikan perawatan terbaik bagi anak-anak mereka.
Salah seorang ayah yang berani dan setia yang bekerja bersama Compassion adalah John Bosco Kazibwe dari Uganda. Ia menjadi pengasuh tunggal bagi putri kecilnya, Gloria Namirembe, semenjak istrinya pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun.
“Saya sangat bingung. Mengapa ia meninggalkan seorang anak yang masih menyusui? Bagaimana saya harus mengatasinya? Saya hanya ingin melakukan yang terbaik untuk membesarkan Gloria dengan tangan saya sendiri, tapi saya tidak memiliki uang untuk membeli susu atau untuk mendapatkan bantuan medis. Gloria diserang demam malaria karena kami biasanya tidur tanpa kelambu. Saya sangat kuatir anak ini akan segera meninggal.”
Kemudian John dan Gloria ditemukan oleh pekerja Compassion yang mencari keluarga-keluarga untuk bergabung dengan program mereka, “Child Survival”. John menjadi satu-satunya pria di antara 57 ibu dalam program ini namun ia tidak mundur. Selain menerima bantuan praktis dalam hal makanan, tempat tidur, mainan dan obat-obatan, ia juga mendapatkan keuntungan dari beragam saran yang memungkinkannya untuk memulai peternakan babi kecil.
Ia juga mengembangkan diri sebagai teladan spiritual Gloria, memimpin ibadah di dalam pertemuan dan berdoa dengan Gloria setiap malam sebelum tidur. Ia benar-benar setia menjalankan peranannya sebagai seorang ayah. “Saya ingin mendorong para ayah untuk turut serta membesarkan anak, bukan hanya menyerahkannya kepada ibu. Anak adalah milik kedua orangtua dan kedua orangtua harus berbagi tanggung jawab membesarkan anak-anak.”
Akan tetapi banyak juga anak-anak yang dibantu Compassion tidak memiliki ayah seperti John. Seperti Rugarama Ziade. Ayahnya meninggalkan ibunya ketika ia masih di dalam kandungan. Tak lama kemudian, ibunya meninggal dalam peristiwa pembantaian Rwanda tahun 1994 meninggalkan Ziade seorang diri. Dan akhirnya, pada usia 10 tahun, Ziade bertemu ayahnya untuk pertama kalinya.
“Ayah membelikan saya pakaian sekali. Dia kemudian meninggal karena penyakit HIV dan meninggalkan seorang istri yang sakit serta dua orang anak, usia 10 dan 7 tahun. Mereka adalah keluarga saya hari ini.”
Ketika Compassion bekerja di Rwanda, Ziade terdaftar di dalam proyek dan memulai proses pengembangan diri yang panjang. Dan proses ini mencapai puncaknya ketika ia dipilih untuk masuk dalam Program Pengembangan Kepemimpinan yang bertujuan mencetak lulusan sekolah yang unggul secara rohani dan akademis. Saat ini, Ziade berada di tahun ketiga Sekolah Manajemen Dan Keuangan untuk meraih gelar Akuntansi.
Meskipun Ziade mendapatkan contoh buruk dari ayah yang dikenalnya, namun ia ingin mematahkan siklus itu. Ia menggunakan uang saku yang diperolehnya untuk membayar biaya sekolah adik-adik tirinya dan membantu ibu tirinya untuk membayar uang sewa.
“Keluarga saya adalah adik-adik yang ditinggalkan ayah saya. Dalam program ini kami belajar tentang menghargai keluarga. Saya sangat mencintai mereka. Saya akan mencintai mereka, memenuhi kebutuhan mereka dan merawat mereka seperti adik-adik saya sendiri. Seperti Kristus yang telah memilih saya dari banyak anak lainnya, saya ingin mempertontonkan kasih ini kepada orang lain,” ujar Ziade.
Sama seperti John dan Ziade, setiap kita harus menyadari bahwa di balik setiap kepahitan hidup, ada rencana Tuhan yang indah yang telah disediakannya bagi kita ketika kita memilih untuk sungguh-sungguh mengasihi Dia.
Source : christiantoday
0 comments:
Post a Comment