Akhir pekan lalu Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengeluarkan tiga pertanyaan. Tetapi hanya satu yang lebih menarik perhatian orang ketimbang dua sisanya. Yakni anjuran kepada perempuan agar tidak memakai rok mini ketika berada di dalam angkutan kota.
Pernyataan Fauzi Bowo memang tidak sekasar pernyataan Bupati Aceh Barat Ramli Mansur (“Perempuan yang tidak berpakaian sesuai syariah, seperti minta diperkosa”). Tetapi pada dasarnya baik Fauzi maupun Ramli punya kesalahan pikiran yang sama. Yaitu bila laki-laki terangsang, maka itu salah perempuan.
Karena ini memiliki konsekuensi pada kehidupan publik, maka harus dipersoalkan.
Pernyataan Fauzi Bowo yang pertama berbunyi, pemerintah provinsi akan membahas serius kasus perkosaan di angkutan kota. Dinas Perhubungan pun akan bekerja mengambil tindakan perbaikan.
Pernyataan kedua berbunyi, warga perlu berupaya mengamankan diri mereka sendiri senyampang pemerintah mengupayakan berbagai perbaikan.
Tidak ada yang salah dari kedua pernyataan di atas. Itulah seharusnya penyataan seorang pejabat publik.
Yang mengherankan, mengapa muncul pernyataan ketiga itu, yang lalu membuat khalayak tidak lagi memperhatikan dua pernyataan sebelumnya? Kata orang, rusak susu sebelanga oleh nila setitik.
Fauzi Bowo mungkin menganggap pernyataan ketiga itu sebagai suatu lelucon. Tetapi itu adalah lelucon yang buruk dalam suatu masyarakat metropolitan yang kosmopolitan dan plural.
Pernyataan ketiga itu muncul dari kelaki-lakian yang bias, yang mungkin sekali terbentuk dari lingkungan sosial dan budayanya sendiri. Dengan kata lain, itu adalah nilai pribadi yang tiba-tiba muncul ke ruang khalayak tanpa disaring. Tidak mengherankan kalau ada banyak laki-laki lain, yang dibesarkan dalam lingkungan sosial dan budaya yang serupa, yang mungkin sekali setuju dengan pernyataan itu.
Terhadap ini, para pemikir sudah punya argumennya sendiri, dan masih terus mengupayakan agar makin banyak masyarakat menyadari kesalahan itu. Yang gawat, dalam keadaan masyarakat seperti di atas, pernyataan Gubernur itu seperti suatu persetujuan atas kesalahan pikiran itu.
Inilah yang tidak layak muncul dari seorang pejabat publik. Ia seharusnya mengayomi seluruh warganya yang majemuk. Terhadap inilah masyarakat perlu menggugat beliau, agar pemerintah provinsi fokus saja pada pekerjaannya yang seharusnya: perbaiki (sistem) angkutan umum Jakarta!
Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor http://klikjkt.or.id
Share
0 comments:
Post a Comment